KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini dengan
judul makalah tentang shalat. Telah menjadi tekad saya sejak awal untuk
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, saya mengerjakan
makalah ini dengan sungguh-sungguh dan memberikan berbagai informasi tentang
maraton dan atletik yang saya ambil dari berbagai sumber.
Makalah ini di dalamnya membahas tentang shalat. Sebagai makhluk yang lemah
dan tak sempurna, saya mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan makalah ini.
Saya mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam
menyelesaikan makalah ini.
Bandung 14 februari 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata Shalat secara Etimologis, berarti do’a. Adapun shalat secara
Terminologis, adalah seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan
dengan beberapa syarat tertentu., dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
salam.
Pengertian Shalat ini mencakup segala bentuk salat yang diawali dengan
takbirt al-ihram dan diakhi dengan salam. Digunakan kata shalat untuk ibadah
ini, tidak jauh berbeda dengan pengertian Etimologisnya. Sebab, di dalam shalat
terkandung do’a-do’a berupa permohonan, minta ampun, dan sebagainya.
Adapun yang menjadi landasan kefarduan shalat, diantaranya surat Al-baqarah
ayat 45 dan ayat 100: “ .. dirikanlah Shalat dan tunaikanlah zakat..’’ ; “ dan
memohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat..”
Kewajiban Shalat dilandasi juga oleh Hadits Nabi yang secara Eksplisit,
menyatakan bahwa shalat termasuk rukun Islam.
بني السلا م على خمس : شها دة أن لا أله أ لا الله و أن محمدا رسو ل الله و أ قا م ا لصلا ة و أيتا ء ا لزكاة
وا لحج و صو م رمضا ن
“ Islam dibangun diatas lima dasar ( rukun ) ; syahadat bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan Shalat, menunaikan zakat,
haji ke Bait Allah, dan puasa Ramadhan. ’’
Dalam Islam, Shalat menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh
ibadah lainnya. Selain termasuk rukun islam, yang berarti tiang Agama, Shalat
juga termasuk Ibadah yang pertama diwajibkan Allah kepada Nabi Muhammad
ketika Mi’raj.
Disamping itu, Shalat memiliki tujuan yang tidak terhingga. Tujuan Hakiki
dari Shalat, sebagaimana dikatakan Al-jaziri, adalah tanda hati dalam rangka
mengagungkan Allah sebagai pencipta. Disamping itu Shalat juga merupakan
bukti takwa Manusia kepada Khaliknya. Dalam salah satu ayat-Nya menyatakan
bahwa Shalat bertujuan menjauhkan orang dari keji dan munkar. (Materi
Pendidikan Agama Islam. 2001: 23-24)
Banyak hadits yang menyatakan tentang Hakikat shalat, misalnya:
”Sesungguhnya shalat itu adalah tiang Agama. Barangsiapa menegakkannya,
berarti Dia menegakkan Agama, dan barangsiapa meninggalkannya, berarti dia
merobohkannya”. Akan tetapi,hakikat shalat bukan hanya tindakan dan ucapan
tertentu, tetapi juga harus disertai dengan kesadaran hati. (Shalat dalam Persfektif
Sufi. 2002: 77)
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di ambil rumusan masalah, yaitu sekitar
Pembahasan mengenai Macam-macam dari Shalat.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya Makalah ini adalah selain
untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata Kuliah Bahasa
Indonesia, juga untuk memaparkan Materi mengenai Macam-macam dari Shalat.
BAB II
PEMBAHASAN
Macam-Macam Shalat
1. Shalat Fardu (Shalat Lima Waktu)
Shalat yang yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal
adalah lima kali dalam sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib shalat itu
adalah pada malam Isra, setahun sebelum tahun hijriyah.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang jumlah bilangan shalat
yang difardukan. Jumhur Ulama, termasuk Malik dan Syafi’i, berpendapat Bahwa
jumlah shalat yang wajib hanya lima, sebagai mana yang disebutkan dalam hadist
tentang mi’raj, yaitu : subuh, duhur, ashar, maghrib, dan isya. Disamping hadist
mi’raj, terdapat hadist lain yang meriwayatkan seorang arabiy datang kepada Nabi
dan bertanya tentang islam. Beliau bersabda : “ lima shalat sehar semalam ”. ketika
orang itu bertanya lagi : “apakah ada yang wajib bagiku selain itu ?” Nabi menjawab
: ” tidak ada, kecuali engkau ber-tathawu.”
Namun, abu Hanifah dan para pengikutnya menganggap shalat witir termasuk shalat
wajib, sehingga bilangan shalat fardu ada enam. Ia melandasi pendapatnya dari hadist
Nabi, diantaranya berasal dari syu’aib, yang menyatakan bahwa nabi bersabda :
“Allah telah menambahkan sebuah shalat bagi kamu yaitu witir. Oleh kareana itu ,
hendaklah kamu memeliharanya.”
Disamping itu, ada hadist dari Buraidah Al-Islamiy yang mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda :
“shalat witir itu hak (benar) maka barang siapa tidak melakukannya, dia bukan dari
(umat) kami.”
a. Waktu-waktu Shalat
Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 103: “sesungguhnya shalat itu
merupakan kewajiban yang di tentukan waktunya bagi orang-orang beriman.”
Ketetapan hukum islam yang diperoleh dari nash al qur’an dan sunnah yag qath’i
dan sharih adalah bersifat universal dan fix, dan nerlaku berlaku untuk seluruh umat
mansia sepanjang masa. Namm, sesuai dengan asas-asas hukum islam yang fleksibel.
Praktis, dan tidak menyulitkan dalam batas jangkauan kemampan manusia sejalan
dengan kemaslahatan umm dan kemajuan zaman, dan sesuai pula dengan rasa
keadilan, maka ketentuan waktu shalat berdasarkan al qur’an surat al-isra ayaat 78 dan
al-baqorah ayat 187 tidak berlaku untuk seluruh daerah bumi, melainkan hanya
berlaku di zone bumi yang noramal, yang perbedaan waktu siang dan malamnya
relatif kecil, yakni di daerah-daerah khatulistiwa (ekuator) dan tropis (daerah
khatulistiwa sampai garis paralel 45 o dari garis lintang utara dan selatan). Lebih dari
tiga perlima bumi yang dihuni manusia termasuk di daerah yang normal, ialah selruh
Afrika, Timur tengah, India, Pakistan, Cina, Asean, Australia, dan seluruh Amerika
(Kecuali Canada dan sedikit daerah selatan dari Argentina- Chili), dan Oceania. Maka
waktu Shalat bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah-daerah normal tersebut
adalah waktu setempat ( local time) berdasarkan waktu terbit dan tenggelam matahari
di daerah-daerah yang bersangkutan yang perbedaan waktunya sekitar satu menit
setiap jarak 15 mil.
Adapun waktu shalat bagi masyarakat islam yang tinggal diluar daerah
khatulistiwa dan tropis yakni di daerah-daerah diluar garis paralel 45 o dari garis litang
utara dan selatan yang abnormal itu, karena perbedaan siang dan malamnya terlalu
besar terutama di daerah sekitar kutub yang 6 bulan dalam keadaan siang terus
menerus dan 6 bulan berikutnya dalam keadaan malam, adalah mengikuti waktu shalat
di daerah normal yang terdekat yakni pada garis paralel 45 o dari garis lintang utara dan
selatan.
Karena itu bagi masyarakat islam yang tinggal misalnya di negeri Belanda,
Inggris, dan negara-negara Skandivania mengikuti waktu shalatnya dengan waktu
bordeaux (Prancis bagian selatan), yang terletak di garis paralel 45 o dari garis lintang
utara. Demikian pula bagi masyarakat Islam yang tinggal di Amerika Utara mengikuti
waktu shalat dengan waktu Halifax atau Portland (Canada).
Adapun dalil syar’i yang memberikan dispensasi (hukum rukhsah, istilah Fiqh)
bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah-daerah yang abnormal untuk mengikuti
waktu shalat dari daerah normal yang terdekat, antara lain menurut surat Al-baqarah
ayat 286:
لا يكلف الله نفسا ألا وسعها
“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(Masail Fiqhiyyah. 1993: 274-275)
Adapun waktu bagi masing-masing shalat yang 5 waktu tersebut (Fiqih Islam.
2001: 61-62) adalah sebagai beikut:
1) Shalat Dzuhur. Awal waktunya adalah setelah tergelincir matahari dari
pertengaahan langit. Akhir waktunya apabila bayang-bayang sesuatu telah sama
dengan panjangnya selain dari bayang-bayang ketika matahari menonggak (tepat
diatas ubun-ubun).
2) Shalat Ashar. Waktunya dimulai dari habisnya waktu dzuhur; bayang-bayang
sesuatu lebih dari pada panjangnya selain dari bayang-bayang ketika matahari
sedang menonggak, sampai terbenam matahari.
3) Shalat Maghrib. Waktunya dari terbenam matahari sampai terbenam syafaq
(mega) merah.
4) Shalat Isya. Waktinya mulai dari terbenamnya syafaq merah (sehabis waktu
maghrib) sampai terbit fajar kedua
5) Shalat Shubuh. Waktunya mulai dari terbit fajar kedua sampai terbit matahari.
b. Syarat wajib shalat 5 waktu
1) Islam
2) Suci dari haid (Kotoran dan nifas)
3) Berakal
4) Baligh
5) Telah sampai dakwah (perintah rasul kepadanya)
6) Melihat atau Mendengar
7) Terjaga (tidak tidur dan tidak lupa)
c. Syarat Sah Shalat
1) Suci dari hadats besar dan hadats kecil
2) Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis
3) Menutup aurat
4) Mengetahui masuknya waktu shalat
5) Menghadap ke kiblat (ka’bah)
d. Rukun Shalat
1) Niat
2) Berdiri bagi yang mamapu
3) Takbiratul ihram
4) Membaca surat Fatihah
5) Ruku serta tuma’ninah
6) I’tidal serta tuma’ninah
7) Sujud dua kali dengan tuma’ninah
8) Duduk diantara dua sujud dengan tuma’ninah
9) Duduk akhir
10) Membaca Tasyahd akhir
11) Membaca Shalawat atas Nabi Muhammad
12) Memberi salam yang pertama (kanan)
13) Menertibkan rukun
e. Hal-hal yang membatalkan Shalat
1) Meninggalkan salah satu rukun
2) Meninggalkan salah satu syarat
3) Sengaja berbicara
4) Banyak bergerak
5) Makan dan minum
f. Niat dalam shalat
Shalat (Fiqih Niat. 2006: 260) merupakan ibadah yang tidak bisa di nalar dan
para Ulama telah menyepakati atas kewajiban ibadah ini.
Tidak sedikit Ulama yang mengatakan secara ijma’ tentang kewajiban niat dalam
shalat. Mereka tidak membedakan antara shalat fardhu dengan shalat lainnya., bahkan
niat di wajibkan dalam sujud tilawah dan sujud syukur karena kedua sujud tersebut
merupakan suatu ibadah.
Ada yang berpendapat bahwa shalat berbeda bentuknya dengan amalan biasa dan
ibadah lain, lalu kenapa juga harus memakai niat?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah niat dalam shalat bukanlah untuk
membedakan shalat dengan kebiasaan atau ibadah yang lain, namun untuk
membedakan jenis shalat antara shalat fardhu dan shalat tidak fardhu.
Imam syafi’i mengatakan bahwa Allah mewajibkan shalat, ada shalat fardhu dan
ada shalat tidak fardhu, Allah berfirman,
“ dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu
ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat
yang terpuji.”(al-Israa’: 79)
Niat berfungsi untuk membedakan jenis shalat dan tingkatan shalat tersebut,
sehingga shalat dngan memakai niatlah yang di terima olah Allah.
2. Shalat Sunnah
Selain shalat fardhu, ada juga yang di namakan dengan shalat sunnah yang diatur
tersendiri, baik waktu maupun pelaksanaannya. Dikatakan orang, bahwa hikmah
adanya ajaran shalat sunnah sehabis shalat fardhu itu adalah agar menjadi penambah
shalat fardhu yang mungkin kurang tanpa di sengaja seperti kurang adabnya dan shalat
sunnah sebelum shalat fardhu agar lebih konsentrasi dalam memasuki shalat fardhu itu
dengan hati yang lapang mengerjakannya dan siap menghadapinya.
Sengaja di syariatkan shalat sunnat juga ialah untuk menambal kekurangan yang
mungkin terdapat pada shalat-shalat fardhu, juga karena shalat itu mengandung
keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain.
Dari Abu Hurairah r.a. diceritakan bahwa Nabi SAW bersabda, yang artinya:
“sesungguhnya yang pertama-tama akan di hisab dari amal perbuatan manusia
pada hari kiamat atu ialah shalat. Tuhan berfirman kepada Malaikat, sedangkan Ia
adalah Maha Lebih Mengetahui: “periksalah shalat hamba-Ku, cukupkah atau
rangkah?” maka jiakalau terdapat cukup, dicatatlah cukup. Tetapi jikalau terdapat
kekerangan, tuhan berfirman pula; “periksalah lagi, apakah hambah-Ku itu
mempunyai amalan shalat sunnah ? Jikalau terdapat ada shalat sunahnya, lalu tuhan
berfirman lagi: ‘ cukupkanlah kekurangan shalat fard hambahku itu dengan shalat
sunnahnya” selanjutnya diperhitungkanlah amal pebuatan itu menurut cara
demikian”.
Macam-macam Shalat Sunnah:
A. Shalat Jama’ah
Apabila dua orang shalat bersama-sama dan salah seorang diantara
mereka mengikuti yang lain, keduanya dinamakan shalat berjama’ah. Orang
yang diikuti (di hadapan) dinamakan imam, sedangkan yang mengikuti
dibelakang dinamakan ma’mum. (Fiqih Islam. 2001: 106)
Shalat jama’ah (Fiqih Isalam Praktis. 1995: 198) juga bisa tercapai
dengan shalat seorang laki-laki di rumah bersama istrinya dan yang lainnya.
Akan tetapi, di dalam masjid itu lebih utama dengan lebih banyak orang. Dan
seandainya di dekat masjid itu jama’ahnya sedikit dan yang jauh jama’ahnya
banyak maka yang jauh itu lebih utama kecuali dalam dua hal atau keadaan.
Pertama : bila yang dekat sedikit jama’ahnya.
Kedua : bila Imam yang jauh itu orang yang berbuat bid’ah dan orang fasik.
Rasulullah senantiasa melaksanakan shalat fardhu berjama’ah, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat dan beberapa hadits berikut:
“apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak
mendirikan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka
berdiri (shalat) besertamu.’’ (QS. An-nisa: 102).
Adapun hadits Nabi yang menjelaskan hal ini diantaranya:
“sesungguhnya saya telah bermaksud untuk menyuruh seseorang memimpin
dan melaksanakan shalat dengan orang banyak, kemudian saya pergi dan
dengan beberapa orang yang membawa kayu bakar, ke tempat orang yang
tidak
menghadiri shalat itu dan membakar rumah-rumah meraka dengan api.’’
HR.Bukhori dan Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan: “ shalat berjama’ah lebih utama ketimbang
shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat’’ (HR. Bukhari dan Muslim)
dalam (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 46)
B. Shalat ‘Idain
Shalat ‘idain (Shalat dua hari Raya) termasuk sunah muakadah yang
disyari’atkan berdasarkan al qur’an, as-sunnah, dan ijma’. Dalil al-Qur’an
dapat dijumpai dalam Q.S Al Kautsar ayat 2 yang artinya:” maka dirikanlah
shalat, karena tuhanmu; dan berkorbanlah.”
shalat dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai perintah shalat idul adha namun,
perintah itu tidak menunjukan wajib, sebab ada hadist riwayat bukhori dan
muslim bahwa seseorang (‘arabiy) setelah mendapatkan penjelasan tentang
kewajiban shalat fardu, bertanya kepada Nabi : “apakah masih ada shalat yang
wajib atasku selain itu ?” beliau menjawab : “tidak, kecuali bila engkau
hendak melakukan tatthawu.” (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48)
Hadits Nabi Saw.:
عن عا ئشة رضي ا لله عنها قا لت :قا ل رسو ل الله صلى الله عليه و سلم أ لفطر يوم يفطر ا لنا س و
الاضحى يوم يضحى ا لناس ( روه ا لتر مذي )
Artinya: Dari Aisyah r.a. dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda : Fithri itu
ialah hari orang-orang berbuka puasa dan Adha itu ialah hari orang-orang
berqurban. (H.R.At Turmudziy)
Dalam Hadits tersebut terkandung dalil bahwa yang perlu di perhatikan
dalam penetapan hari raya itu ialah kesepakatan orang banyak dan orang yang
hanya sendirian mengetahui Hari raya dengan melihat Bulan, harus atasnya di
cocokkan dengan oranglain dan dia harus mengikuti keputusan orang banyak
dalam penentuan shalat Hari raya, berbuka dan berkurban. (Terjemahan
Subulus salam. 1991: 259)
Pelaksanaan shalat ‘Idain (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48)
ini, menrut kesepakan ulama, dituntut secara berjama’ah. Abu Hanifah dan
ulama lainnya mengatakan tuntutan melakukan shalat ‘id hanya ditunjukan
kepada orang yang bertempat tinggal di kota. Namun, menurut Syafi’i,
tuntutan itu berlaku secara luas, meliputi orang musafir, perempuan dan budak
bahkan orang yang sedirian. Waktu shalat ‘id itu sejak matahari sampai kepada
waktu zawal, dan sebaiknya dilaksanakan setelah matahari naik setinggi
tombak.
C. Shalat Istisqa
Shalat istisqa (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49) dilakukan
dalam rangka memohon turunnya hujan. Ulama sepakat, bila kebutuhan akan
air menjadi sulit karena lama tidak turun hujan, disunahkan melakukan istisqa,
pergi keluar kota, berdo’a, memohon agar Allah menurunkan hujan. Mayoritas
mereka memasukan shalat sebagai istisqa dari upacara istisqa itu, namun Abu
Hanifah tidak memandang demikian.
Hukum shalat Istisqa adalah sunnah muakkad, yaitu apabila shalat itu
dilaksanakan ketika membutuhkan air, dengan tata cara- tata caranya. ( Fiqih
empat Madzhab. 1994: 318)
Dalam kitab “al hudan nabawiy” telah dihitung macam-macam cara
nabi saw, melakukan minta hujan itu.
Pertama : keluarnya Nabi saw. menuju tempat shalatnya dan khutbahnya
sambil memohon.
Kedua : beliau meminta hujan itu pada hari jum’at di atas mimbar sewaktu
tengah khutbahnya.
Ketiga : beliau berdo’a minta hujan di atas mimbar di madinah, dengan do’a
minta hujan saja bukan pada hari jum’at tanpa melakukan shalat meminta
hujan.
Keempat : bahwa beliau meminta hujan sewaktu beliau duduk dalam mesjid,
beliau mengangkat tangannya sambil berdo’a kepada Allah SWT.
Kelima : bahwa nabi saw. Pernah berdo’a minta hujan itu dengan duduk pada
batu licin dekat zaura (nama tempat yang menjadi pasar pada masa utsman)
yaitu suatu tempat di luar pintu mesjid
Keenam : beliau pernah berdo’a minta hujan pada suatu peperangan, karena
sumber mata air sudah dahulu dikuasai oleh kafir musyrik (musuhnya). Lalu
mulai saat itu juga pada daerah yang dikuasai Nabi saw. diturunkan hujan.
(Terjemahan Subulus salam. 1991: 316)
D. Shalat Tahiyat masjid
Orang yang masuk masjid disunatkan melakukan salat dua raka’at,
sebelum duduk, sebagai penghormatan (tahiyat) masjid, sesuai hadits Nabi:”
jika seseorang diantara kamu datang ke masjid, maka hendaklah ia melakukan
shalat dua raka’at.’’ Tatapi, jika ia masuk ketika shalat jama’ah akan dimulai,
ia tidak di tuntut lagi melakukannya. Lagipula, penghormatan terhadap masjid
itu telah tercapai dengan melekukan shalat wajib tersebut.
Jika seseorang masuk ke masjid pada hari jum’at ketika Imam sedang
menyampaikan khotbah, hendaklah ia melakukan shalat tahiyatul masjid
dengan ringkas. Dalam suatu riwayat dikatakan:” apabila seseorang diantara
kamu datang ketika Imam sedang berkhotbah, maka hendaklah ia shalat dua
raka’at, dan hendaklah ia melakukannya dengan ringkas.” (Materi Pendidikan
Agama Islam. 2001: 50)
Sabda Rasulullah Saw:
عن أ بى قتادة قال رسول الله صلى ا لله عليه و سلم أذا دخل أحدكم ا لمسجد فلا يجلس حتى يصلى
ركعين . رواه البخارى و مسلم
Dari Abu Qatadah, “Rasulullah Saw. Berkata, ‘Apabila salah seorang diantara
kamu masuk ke mesjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat
dahulu’.“ (Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqih Islam. 2001: 146)
E. Shalat Dhuha
Shalat Dhuha ialah shalat sunnat dua rakaat atau lebih. Sebanyak-banyaknya
dua belas rakaat. Shalat ini dikerjakan ketika waktu dhuha, yaitu waktu
matahari naik setinggi tombak yaitu kira-kira pukul 8 atau pukul 9 sampai
tergelincir matahari.
Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Kekasihku (Rasulullah saw.) telah berpesan
kepadaku tiga macam pesan: (1) Puasa tiga hari setiap bulan, (2) Shalat Dhuha
dua rakaat, dan (3) Shalat Witir sebelum tidur.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim) dalam (Fiqh Islam. 2001: 147)
Shalat Dhuha hukumnya Sunnat menurut pendapat tiga Imam Madzhab.
Malikiyyah menyangkal pendapat itu. Mereka berpendapat bahwa shalat
Dhuha itu hukumnya mandub muakkad, bukan sunnat. Adapun waktunya
adalah sejak matahari menyingsing sebatas ketinggian satu tombak hingga
tergelincir (zawal). Yang lebih utama hendaknya ia memulai shalat itu setelah
seperempat siang. Batas minimal shalat dhuha adalah dua rakaat. Sedangkan
maksimalnya 8 rakaat. Apabila Ia menambah jummlah rakaatnya lebih dari
batas itu karena sengaja dan tahu dengan berniat shalat dhuha, maka
selebihnya dari 8 rakaat itu tidak sah. Sedangkan apabila hal tersebut ia
lakukan karena lupa dan tidak tahu, maka menurut Syafi’iyah dan Hanabillah
ia sah sebagai shalat nafilah mutlak.(Fiqih empat Madzhab. 1994: 269)
F. Shalat Tahajud
Shalat sunnah tahajud utama dilakukan pada waktu malam setelah tidur
terlebih dahulu. Keutamaan ini terkait dengan beratnya melakukan shalat
setelah tidur dan juga terkait dengan pelaksanaannya pada saat manusia sedang
tidur dan lalai mengingat Allah. Waktu yang terbaik baginya pada akhir malam
sesuai dengan ayat 17-18 dari Surat Al-dzariyyat.” Mereka sedikit sekali tidur
di waktu malam. Dan di akhir malam-malam mereka memohon (kepada
Allah).”
Bila malam dibagi tiga, maka sepertiga bagian setelah tengah malam
merupakan waktu terbaik. Sebagaimana diriwayatlkan Umar bahwa shalat
yang paling disukai Allah adalah shalat Nabi Daud. Ia tidur sepuluh malam,
kemudin bangkit berdiri (shalat) sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya.
(Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49)
Sabda Rasulluh Saw.:
عن أ بي هريرة لما سئل ا لنبى صلى ا لله عليه و سلم أ ى ا لصلاة افضل بعد ا لمكتوبة ؟ قا ل ا لصلاة
فى جوف ا لليل. روه مسلم و غيره
Dari Abu Hurairah, tatkala Nabi Saw. Ditanya orang,’ Apakah shalat yang
lebih utama selain dari shalat fardhu yang lima?’ Jawab Beliau,” Shalat pada
waktu tengah malam.” (Riwayat Muslim dan lainnya) dalam ( Fiqih islam.
2001: 148)
G. Shalat Jum’at
Shalat Jum’at (Fiqih Islam. 2001: 123) ialah shalat dua raka’at sesudah
khatbah pada waktu dzuhur pada hari jum’at. Hukum shalat jum’at itu adlah
fardhu a’in, artinya wajib atas setiap laki-laki dewasa yang beragama Islam,
merdeka, dan tetap di dalam Negeri. Perempuan, kanak-kanak, hamba sahaya,
dan orang yang sedang dalam perjalanan tidak wajib shalat jum’at.
Firman Allah Saw.:
يا أ يها ا لذ ين أ منوا أذا نودى للصلوة من يو م الجمعة فا سعو األى ذ كر ا لله و ذرواالبيع. الجمعه : 9
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila di seru untuk menunaikan shalat pada
hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli.” (Al-jumu’ah: 9)
Yang dimaksud ”jual beli” ialah segala pekerjaan selain dari urusan
shalat.
Ada sebagian Ulama yang berpendapat bahwa shalat jum’at merupakan fardu
kifayah. Bahkan, Imam Malik menganggapnya sunat. Sebab perbedaan
pendapat ini karena shalat jum’at hampir sama dengan shalat Id (Meteri
pendidikan Agama islam. 2001: 41)
Pendapat Ibnu Hanbal (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 42) Orang
yang wajib shalat jum’at haram melakukan Safar, meninggalkan wilayah
setelah tergelincir matahari pada hari jum’at, kecuali ia yakin dapat
melaksanakannya di perjalanan. Hukum ini berlaku juga bagi perjalanan
sebelum tergelincir matahari, sebab kewajiban shalat tersebut terkait dengan
hari jum’at.
Abu Abdullah bin Hamid (Rahasia di Balik Shalat. 2003: 30) mengatakan:
Barang siapa mengingkari wajibnya jum’at berarti telah kufur. Jika ia
mengerjakannya empat rakaat namun meyakini wajibnya, yaitu dengan
mengatakan bahwa shalat jum’at itu adalah shalat dzuhur yang pendek, maka
ia tidak kufur, jika tidak demikian maka ia kufur.
H. Shalat Rawatib
Shalat Rawatib ialah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah
shalat fardhu. Seluruh shalat sunnah rawatib ini ada 22 raka’at, yaitu:
a) 2 raka’at sebelum shalat shubuh (sebelum shalat shubuh tidak ada sunnah
ba’diyah)
b) 2 raka’at sebelum shalat zhuhur, 2 atau 4 ra’kaat sesudah shalat dzuhur)
c) 2 raka’at atau 4 raka’at sebelum shalat ashar (sesudah shalat ashar tidak
ada sunnah ba’diyah)
d) 2 raka’at sesudah shalat maghrib
e) 2 raka’at sebelum shalat isya
f) 2 raka’at sesudah shalat isya
Di antara shalat-shalat tersebut ada yang di namakan “sunnah muakkad”
artinya sunnah yang sangat kuat, yaitu:
a) 2 raka’at sebelum shalat dzuhur, dengan niatnya:
أ صلى سنة ا لظهر ركعتين قبلية لله تعلى . ا لله أ كبر
Artinya:
“ aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua raka’at karena Allah
Ta’ala. Allahu akbar.”
b) 2 raka’at sesudah dzuhur
c) 2 raka’at sebelum ashar
d) 2 raka’at sesudah maghrib
e) 2 raka’at sebelum isya
f) 2 raka’at sesudah isya
Shalat-shalat tersebut, yang dikerjakan sebelum shalat fardhu
dinamakan “Qabliyyah”, dan yang dikerjakan sesudah shalat fardhu
dinamakan “Ba’diyyah”.
Ketentuan-ketetuan shalat Rawatib:
a) Niatnya menurut macam shalatnya
b) Tidak dengan adzan dan iqamah
c) Dikerjakan tidak dengan berjama’ah
d) Bacaannya tidak dinyaringkan
e) Jika lebih dari dua raka’at, tiap-tiap dua raka’at satu salam
f) Diutamakan sebaiknya tempat mengerjakan pindah bergeser sedikit dari
tempat shalat fardhu yang baru dikerjakan. (Risalah Tuntunan shalat
lengkap. 2011: 80-83)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata Shalat secara Etimologis, berarti do’a. Adapun shalat secara
Terminologis, adalah seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan
beberapa syarat tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Shalat yang yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal
adalah lima kali dalam sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib shalat
itu adalah pada malam Isra, setahun sebelum tahun hijriyah.
Selain shalat fardhu, ada juga yang di namakan dengan shalat sunnah yang
diatur tersendiri, baik waktu maupun pelaksanaannya. Dikatakan orang, bahwa
hikmah adanya ajaran shalat sunnah sehabis shalat fardhu itu adalah agar menjadi
penambah shalat fardhu yang mungkin kurang tanpa di sengaja seperti kurang
adabnya dan shalat sunnah sebelum shalat fardhu agar lebih konsentrasi dalam
memasuki shalat fardhu itu dengan hati yang lapang mengerjakannya dan siap
menghadapinya.
Macam-macam dari shalat sunnah itu sendiri adalah diantaranya shalat
Jama’ah, shalat ’Idain, shalat Istisqa, shalat Tahiyatul masjid, shalat Dhuha, shalat
Tahajud, shalat Jum’at, shalat Rawatib.
B. Saran
Saya hanyalah seorang manusia biasa yang tidak pernah sirna dari kekhilafan,
karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Karena dalam pembuatan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka selayaknya saya mengharapkan
kritik ataupun saran yang membangun kepada para Pembaca agar saya bisa
memperbaiki dalam pembuatan makalah selanjutnya supaya bisa menjadi lebih
baik di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1994. Fiqih Empat Madzhab. Jakarta: Darul Ulum Press.
Asyqar, U. Sulaiman. 2006. Fiqih Niat. Jakarta: Gema Insani.
Asyur, A. Isa. 1995. Fiqih Islam Praktis Bab: Ibadah. Solo: Pustaka Mantiq.
Gymnastiar, Abdullah, dkk. 2002. Salat dalam Persfektif Sufi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Jauziyah I. Qayyim. 2003. Rahasia Dibalik Shalat. Jakarta: Pustaka Azam.
Muhammad, A. Bakar. 1991. Terjemahan Subulussalam II. Surabaya: Al-Ikhlas.
Rifa’i, Muhammad. 2001. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: PT. Karya
Toha Putra.
Sabiq, Sayyid. 1993. Fiqih Sunnah jilid 2. Bandung: Al-Ma’arif.
Tafsir, Ahmad. 2001. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja.
Rosdakarya.
Zuhdi, M. Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyyah. Jakarta: CV. Haji Masagung.