Peranan Sikap, Norma Subyektif, serta PBC (Perceived Behavioral Control) Terhadap Intensi Melanggar Peraturan Lalu Lintas Pada Pengemudi

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Melangar lalu lintas tampakanya bukan hal baru lagi dalam dunia transportasi tak terkecuali pada transportasi darat. Hal tersebut seolah menjadi hal yang lumrah bagi pengguna jalan. Demi mempermudah dan mempercepat dalam berkendara, tak jarang kita temukan mereka melanggar peraturan lalu lintas yang mungkin dapat membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Beragam jenis pelanggaran lalu lintas yang dilakukan dari melanggar rambu-rambu lalu lintas, ketidak layakan kendaraan yang mereka gunakan, hingga kelengkapan peralatan seperti helm dan surat berkendara bagi pengemudi.

Langkah kepolisian untuk menertibkan para pengguna jalan dilakukan terutama demi kepentingan pengguna jalan itu sendiri. Berbagai macam bentuk operasi lalu lintas dilakukan agar ketertiban itu terwujud, mulai dari pengaturan jalur-jalur laju kendaraan, traffict light (lampu lalu lintas), rambu-rambu lalu lintas, hingga mengenai kelengkapan peralatan dan surat yang wajib dimiliki oleh para pengguna jalan.

Namun demikian, sesungguhnya ketertiban lalu lintas tidak hanya bertumpu pada kepolisian, masyarakat sebagai pengguna jalan pun berperan dalam proses penertiban tersebut. Sejauh mana para pengguna jalan memiliki kesadaran untuk memperhatikan peraturan lalu lintas juga turut mempengaruhi terciptanya kondisi lalu lintas ya ng kondusif.

Menurut penuturan Kaditlantas (Kepala Direktorat Lalu Lintas) Polda Metro Jaya Kolonel (Pol) Soeroso bersama Kasat (Kepala Satuan) Penjagaan Khusus (Gasus) Ditlantas Letkol (Pol) Sulistyo Basuki masyarakat Indonesia tampaknya masih takut pada petugas, “Jika ada petugas, mereka patuh pada peraturan. Tapi jika petugas tidak ada, peraturan yang ada pun dilanggar.” katanya (dalam Kompas, 4 Januari 1995).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Kompas (4 Januari, 1995) di Jl. S. Parman, Slipi sampai Grogol yang juga ditetapkan sebagai Kawasan Tertib Lalu Lintas, ketertiban tidak berlangsung lama. Selama terlihat ada petugas yang berjaga mulai pukul 07.00 atau 09.00 WIB, pengguna jalan mematuhi aturan yang berlaku. Bus-bus menaikkan dan menurunkan penumpangnya di tempat pemberhentian bus dan ojek tak ada satupun yang mangkal di kawasan tersebut. Namun begitu petugas pergi, banyak warga yang seenaknya melanggar lalu lintas. Puluhan calon penumpang memberhentikan bus di luar tempat pemberhentian yang ditetapkan. Bahkan tidak sedikit pula bus yang menurunkan penumpangnya tepat di mulut jalan tol Slipi, yang sebenarnya terlarang.

Ada atau tidaknya aparat kepolisian yang berjaga, sudah sewajarnya jika harus tetap mematuhi peraturan karena ketertiban berasal dari kita. Hal yang terpenting dari tertib lalu lintas adalah kesadaran untuk mematuhi dan merasa jika peraturan tersebut sangatlah berguna untuk kepentingan khalayak umum.

Entah penilaian apa yang tertanam tentang perilaku melanggar tersebut sehingga mereka dengan leluasa melakukan sesuatu hal yang kurang terpuji itu. Secara harfiyah mungkin mereka tahu bahwa melanggar lalu lintas adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa sikap mereka terhadap pelanggaran lalu lintas adalah cenderung negatif. Tapi yang mengherankan mereka masih saja menggunakan perilaku melanggar lalu lintas sebagai jalan pintas untuk segera mencapai tempat tujuan.

Menurut Fishbein dan Ajzen (dalam Sarwono, 1999) sulit untuk mengukur sikap yang umum terhadap perilaku yang khusus, dan begitu juga sebaliknya sulit untuk memperkirakan perilaku yang khusus dari sikap yang umum. Seperti pada perilaku melanggar peraturan lalu lintas ini, orang cenderung berpikir negatif tentang melanggar lalu lintas, tapi dalam perilakunya tetap saja dijalankan. Untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku, khususnya disini adalah melanggar lalu lintas menurut Ajzen (1988) bahwa intensi sangat berpengaruh terhadap perilaku yang tampak. Intensi secara harfiah diartika sebagai maksud, pamrih, atau tujuan (Chaplin, 2002). Ketika individu memutuskan untuk melanggar lalu lintas pembentukan intensi akan dipengaruhi olleh faktor personal dan pengaruh sosial. Intensi yang ada dalam setiap individu pun berbeda, meskipun pandangan pengguna jalan terhadap melanggar lalu lintas mungkin adalah cenderung sama yaitu perbuatan yang kurang baik namun sikap tidak begitu saja mampu mencerminkan perilaku. Tentulah ada ada penilaian-penilaian tertentu terhadap suatu objek sebagai pertimbangan perilaku yang dimunculkan.

Pada teori Reasoned Action Fishbein dan Ajzen (dalam Eagly & Chaiken, 1993) mengasumsikan intensi dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif. Dalam pandangan Fishbein & Ajzen (1975) terlahirnya sikap merupakan hasil dari pemikiran tentang konsekwensi berperilaku dengan dua komponen pembentuk sikap yang pertama yaitu behavioral belief (keyakinan individu untuk melakukan sesuatu, dalam penelitian ini behevioral belief yang dimaksud adalah keyakinan untuk melakukan pelanggaran lalu lintas) dan evaluation of behavioral belief (evaluasi perilaku apakah positif atau negatif berdasarkan keyakinan yang dimilikinya, dalam penelitian ini yang dimaksud dengan evaluation of behavioral belief adalah nilai positif terhadap pelanggaran lalu lintas ataukan nilai negatif terhadap pelanggaran lalu lintas sebagai pertimbangan sebaiknya dimunculkan atau tidak dimunculkan dalam bentuk perilaku). Sedangkan norma subyektif dipengaruhi oleh tokoh panutan (significant other) sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut.

Faktor yang mempengaruhi intensi selain sikap dan norma subyektif diatas, Icek Ajzen (1988) melengkapinya dengan PBC (Perceived Behavioral Control) dan teorinya dikenal dengan Planned Behavior Theory , PBC yaitu persepsi individu mengenai mudah atau tidaknya individu untuk melakukan perilaku dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya juga hambatan-hambatan yang diantisipasi. Mudahnya atau tidaknya pengemudi melakukan pelanggaran lalu lintas sebagai refleksi dari pengalaman masa lampau dan cara mengatasi hambatan-hambatan yang hadir saat terjadinya pelanggaran lalu lintas.

Dengan mengetahui ketiga faktor intensi yaitu sikap, norma subyektif dan PBC (Perceived Behavioral Control) yang dikenal dengan teori Planned Behavior sering menjadikan teori ini sebagai dasar penelitian bahkan juga penyumbang teori dalam isu sosial yang terjadi, misalkan saja mengenai cara sehat penggunaan kondom, penggunaan alkohol, penggunaan sabuk pengaman bahkan perilaku lingkungan seperti konservasi dan pendaur ulangan air (dalam Oskamp & Schultz, 2005). Tak kurang dari 185 penelitian menggunakan teori Planned Behavior mampu memberikan hasil yang baik, dengan multiple korelasi sebesar 0,63 mampu memprediksi intensi perilaku (Amritage & Corner, 2001). Apalagi dengan penambahan komponen PBC (Perceived Behavioral Control) membuat prediksi model lebih signifikan (dalam Oskamp & Schultz, 2005).

Beragam faktor seperti sikap, norma subyektif, serta PBC (Perceived Behavioral Control) terhadap intensi, serta maraknya terjadi pelanggaran lalu lintas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian sejauh mana peranan dari tiga faktor tersebut terhadap intensi melanggar lalu lintas dengan judul , “Peranan Sikap, Norma Subyektif, serta PBC (Perceived Behavioral Control) Terhadap Intensi Melanggar Peraturan Lalu Lintas Pada Pengemudi Warga RT:5 RW:5 Cemapaka Putih Ciputat Timur”.

1.2 Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Apakah pelanggaran adalah suatu hal lumrah dikalangan pengemudi?
  2. Bagaimanakah peranan sikap terhadap intensi melanggar lalu lintas?
  3. Bagaimanakah peranan norma subyektif terhadap intensi melanggar lalu lintas?
  4. Bagaimanakah peranan PBC (Perceived Behavioral Control) terhadap intensi melanggar lalu lintas?
  5. Manakah yang paling berpengaruh terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas dari sikap, norma subyektif, maupun PBC?
  6. Manakah yang paling tidak berpengaruh terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas dari sikap, norma subyektif, maupun PBC?

1.3 Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1.3.1 Pembatasan Masalah

Untuk lebih memfokuskan dan agar mendapatkan hasil yang dituju, maka permasalahan yang akan diteliti dibatasi dalam hal sebagai berikut:

1. Subjek penelitian ini adalah warga RT:5 RW:5, Kelurahan: Cempaka Putih, Kecamatan: Ciputat Timur.

2. Sikap menurut Gerungan (1996) sikap sebagai kesediaan bereaksi terhadap suatu hal. Sikap menurut Fishbein & Ajzen (1975) adalah predsiposisi (kecenderungan) cara merespon secara konsisten dengan memberikan penilaian suka atau tidak suka terhadap objek dengan dua komponen pembentukan sikap, yaitu behavioral belief dan evaluation of behavioral beliefe.

3. Norma Subyektif menurut Fishbein & Ajzen (1975) adalah persepsi individu berhubungan dengan kebanyakan dari orang-orang yang penting bagi dirinya, mengaharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tertentu, orang-orang yang penting bagi dirinya itu kemudian dijadikan acuan atau patokan untuk mengarahkan tingkah laku. Norma Subyektif ditentukan oleh normative believe dan motivation to comply.

4. PBC (Perceived Behavioral Control) menurut Ajzen adalah persepsi individu mengenai mudah atau tidaknya individu untuk melakukan tingkah laku dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi. PBC ini memiliki 2 faktor yaitu belief control dan perceived facilitation.

5. Intensi yang dimaksud adalah kecenderungan atau niat seseorang untuk melakukan atau tidaknya pada tindakan melanggar lalu lintas.

6. Pelanggaran lalu lintas yang dimaksud adalah berbagai jenis ketidak patuhan terhadap peraturan lalu lintas yang sudah ditetapkan pihak yang berwajib.

1.3.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peranan sikap terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas pada warga pengemudi RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur?

2. Bagaimanakah peranan norma subyektif terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas pada pengemudi warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur?

3. Bagaimanakah peranan PBC (Perceived Behavioral Control) terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas pada pengemudi warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur?

4. Bagaimanakah tingkat intensi melanggar lalu lintas pada pengemudi warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penulisan

1.4.1 Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Sikap memiliki peranan yang kuat terhadap intensi melakukan pelanggaran peraturan lalu lintas pada pengemudi warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur.

2. Norma subyektif memiliki peranan yang kuat terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas pada pengemudi warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur.

3. PBC (Perceived Behavioral Control) memiliki peranan yang kuat terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas pada pengemudi warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur.

4. Tingkat intensi melanggar lalu lintas pada pengemudi warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur.

1.4.2 Manfaat Penelitian

1. Mafaat teoritis

  • Manfaat penelitian ini selain diharapkan memperkaya khazanah ilmu pengethuan khususnya psikologi sosial, penelitian ini jugamembuka wawasan mengenai fenomena psikologis yang terjadi mengenai sikap, norma subyektif, serta PBC (Perceived Behavioral Control) terhadap intensi khusunya dalam fenomena melanggar peraturan lalu lintas.
  • Dapat dijadikan motivator bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi petugas kepolisian tentang hal-hal yang semestinyadilakukan sebagai perangkat negara untuk mengatur ketertiban lalu lintas agar masyarakat Indonesia menjadi sadar akan peraturan yang semestinya dilakukan.

1.5 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. BAB 1 atau bab pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

2. BAB 2 atau bab kerangka teori membahas tentang intensi, sikap, norma subyektif, PBC, pelanggaran lalu lintas dan hipotesa.

3. BAB 3 adalah metode penelitian yang mencakup variabel penelitian, subyek penelitian, teknik pengambilan sampel, instrumen penelitian dan prosedur penelitian.

4. BAB 4 adalah bab hasil dari analisis hasil penelitian, meliputi gambaran umum subyek penelitian serta hasil dan inter pretasi hasil penelitian.

5. BAB 5 atau bab terakhir berisikan kesimpulan, diskusi dan saran.

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Intensi Melakukan Pelanggaran Lalu Lintas

2.1.1 Intensi

2.1.1.1 Pengertian Intensi

Untuk bisa memahami intensi pertama kita harus mengetahui perngertian dari intensi. Intensi dalam kamus Psikologi Chaplin (2002), secara harfiah diartikan sebagai maksud, pamrih, atau tujuan. Sedang secara definitif adalah satu perjuangan guna mencapai satu tujuan.

Ajzen (1988) menjelaskan yang dimaksud dengan intensi yaitu : “intention are assumed to capture to motivational factors that have an compact on a behavior; they are indications of how an effort they are planning to exert, in order to perform the behavior”.

Dalam penjelasan ini intensi dapat digunakan untuk meramalakan seberapa kuat keinginan individu untuk menampialakan dan seberapa banyak usaha yang direncanakan atau dilakukan untuk menampilkan tingkah laku.

Selain itu juga, penjelasan mengenai intensi juga dikemukakan oleh Eagly dan Chaiken (1993) bahwa intensi sebagai konstruk berbeda dengan sikap yang mewakili motivasi seseorang dalam usaha menampilkan suatu tingkah laku.

Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa intensi merupakan kecenderungan seseorang untuk memunculkan tingkah laku tertentu dengan faktor motivasional yang mempengaruhi seberapa keras dilakukan serta seberapa banyak yang digunakan untuk menampilkan tingkah laku.

2.1.1.2 Komponen-komponen intensi

Intensi memiliki empat elemen penting seperti yang telah dikemukakan oleh Fishbein & Ajzen (1975), keempat elemen tersebut ialah :

1. Tingkah laku

2. Objek target yang mengarahkan tingkah laku

3. Situasi dimana tingkah laku ditampilkan

4. Waktu saatnya ditampilkan tingkah laku

Sedangkan pada Theory of planned behavior yang dikemukakan oleh Ajzen, intensi dan perilaku merupakan fungsi dari tiga dasar determinan (Ajzen,2005), tiga dasar determinan tersebut adalah :

1. Personal In Nature

Faktor personal tersebut adalah attitude toward the behavior (sikap terhadap tingkah laku tertentu) pada individu, yaitu sikap seseorang terhadap tingkah laku yang merupakan evaluasi positif maupun negatif teradap perwujudan tingkah laku khusus.

2. Reflecting social influence

Persepsi seseorang terhadap tekanan sosial utnuk menunjukkan atau tidak menunjukkan tingkah laku dibawah pertimbangan/anggapan, faktor ini diistilahkan dengan subjective norm.

3. Issues of control

Perasaan terhadap self-effacacy atau kemampuan untuk menunjukkan tingkah laku tertentu, dan diistilahkan dengan perceived behavioral control (PBC).

Gambar 2.1


Dari skema gambar diatas dapat dilihat bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh intensi untuk berperilaku, kemudian intensi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu attitude (sikap), subjective norm (norma subyektif dan PBC (Perceived Behavioral Control). Untuk mengetahui kecenderungan intensi melakukan pelanggaran lalu lintas maka dilakukan pengukuran dengan memberikan stimulus terhadap subyek penelitian berupa pernyataan tentang keinginan individu melakukan atau tidak melakukan pelanggaran lalu lintas dengan alat ukur jenis semantic differensial dalam skala bipolar. Semantic Differential yang digunakan merupakan skala yang dikembangkan oleh Osgood. Semantic Differential menggunakan 7 poin skala dengan dua buah kata sifat yang berlawanan seperti baik dan buruk (bipolar), dalam penelitian ini mematuhi dan melanggar peraturan lalu lintas. Individu diminta untuk mengindikasikan intensi mereka melakukan perilaku melanggar lalu lintas diantara poin skala tersebut dengan memberikan cheklist (√ ) pada skala yang sesuai dengan perasaan mereka.

Contoh :

Saya tidak akan melakukan !.....!.....!.....!.....!.....!.....!.....! saya akan melakukan

1 2 3 4 5 6 7

Pelanggaran lalu lintas

Keterangan :

  • 1 adalah nilai terendah teoritis
  • 4 adalah nilai tengah teoritisnya
  • 7 adalah nilai tertinggi teoritisnya

Dengan indikasi semakin besar skor intensi atau diatas nilai tengah maka semakin besar kecenderungan seseorang untuk berpeilaku melanggar lalu lintas. Untuk mengetahui kecenderungan intensi melakukan pelanggaran lalu lintas maka dilakukan penjumlahan skor total intensi dari setiap individu dalam kelompok dengan rumus dari Guilford dan Fruchter (1981) :

X =

Keterangan :

X : Kecenderungan Intensi

ST : Skor Total

N : Jumlah Responden

Text Box: B ≈ BI = w A + w SN + w PBC  Sedangkan untuk mengetahui peranan sikap, norma subyektif dan PBC terhadap pembentukan intensi (indikasi dari niat unuk berperilaku) menggunakan rumusan yang diadopsi dari Fishbein & Ajzen sebagai berikut :

Keterangan :

B = Behavior

BI = Behavior Intention

w, w ,w = weight / bobot / skor / koefisien regresi

A = Attitude Behavior / Sikap terhadap tingkah laku

SN = Subjective Norm / norma subyektif

PBC = Perceived Behavioral Control (PBC)

2.1.2 Sikap, Norma Subyektif dan PBC ( Perceived Behavioral Control )

2.1.2.1. Sikap

Banyak pakar yang memberikan definisi tentang sikap, dan para pakar tersebut tidak selalu sepakat tentang definisi masing-masing itu. Berikut beberapa definisi sikap menurut para pakar :

Dalam kamus lengkap psikologi (Chaplin, 2002) dijelaskan bahwa sikap (attitude) adalah satu predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau untuk mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu.

Menurut Thurstone (seperti yang dikutip oleh Abu Ahmadi, 1999; dan Saifudin Azwar, 2002), sikap merupakan tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi (symbol, kata-kata, perbuatan, konsep, dan lain sebagainya)

Menurut Davidoff (1988), sikap didefinisikan sebagai konsep evaluatif yang telah dipelajari dan dikaitkan dengan pola pikiran, perasaan, dan tingkah laku individu.

Gordon Allport (1935) memberikan definisi tentang sikap yaitu: “ An attitude is a mental or neural state of readiness, organized through expereience, exerting a directive or dinamyc influence upon the individual’s response to all objects and situations with which it is related.”

Eagly & Chaiken (1993) mendifinisikan sikap sebagai tendensi yang diekspresikan dengan mengevaluasi gelar istimewa pada beberapa derajat baik dan tidak baik.

Gerungan (1996) mendefinisikan sikap (attitude) sebagai kesediaan bereaksi terhadap suatu hal. Attitude senantiasa terarahkan kepada sesuatu hal, suatu objek. Menurut Gerungan sikap itu terbagi dua, yaitu sikap sosial dan sikap individual.

a. Sikap sosial

Sikap sosial (social attitude) dinyatakan dengan cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap objek sosial, dinyatakan tidak hanya oleh seseorang tetapi juga oleh orang lain yang sekelompok atau semasyarakat.

b. Sikap individual

Sikap individual dimiliki oleh seorang demi seorang saja, misalnya kesukaan terhadap binatang – binatang tertentu. Sikap individual berkenaan dengan objek-objek yang bukan merupakan objek perhatian sosial.

Selain definisi diatas, para ahli psikologi sosial kontemporer (dalam Azwar, 2002) mengklasifikasikan sikap dalam dua pendekatan yaitu :

1. Pendekatan tricomponent

Pendekatan ini memandang bahwa sikap adalah sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu obek dan secara bersamaan mengorganisir sikap individu. Ahli psikologi sosial yang menganut pendekatan ini adalah Breckler, Katz & Stotland, dan Rajecki.

COGNITIVE

COMPONENT


ATTITUDE


AFFECTIVE BEHAVIORAL

COMPONENT COMPONENT

Gambar 2.2

Tri-componental view point sumber Oskamp & Schultz (2005)

2. Pendekatan single component

Pendekatan ini terlahir karena ketidak puasan pada pendekatan pertama, mereka tidak melihat kekonsistenan antara tiga komponen (afektif, perilaku dan kognitif) tersebut dalam membentuk sikap. Meneurut pendekatan ini sikap hanya dibatasi pada aspek afek saja yaitu penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek. Para pakar yang menganut pendekatan ini adalah Oskamp, Petty & Cacioppo, dan Fishbein & Ajzen.

Dari beberapa definisi para pakar diatas, penulis menyimpulkan bahwa sikap mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu mengandung penilaian (setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka) terhadap suatu objek tertentu (misalnya orang, tingkah laku, benda, konsep)

Beberapa alasan mengapa sikap menjadi familiar serta menjadi konsep yang sangat berguna, hal ini diungkapkan oleh Oskamp & Schultz dalam bukunya yang berjudul Attitudes and Opinions yaitu :

1. “Sikap” adalah istilah singkat (shorthand). Sebuah sikap (mis. Cinta pada seuah keluarga) bisa mencakup berbagai perilaku-perilaku yang berbeda (seperti menghabiskan waktu dengan mereka, menyayangi mereka, memberi kenyamanan pada mereka, setuju dengan mereka, melakukan sesuatu untuk mereka).

2. Sebuah sikap dapat menjadi sebab pada perilaku seseorang kepada orang lain atau obyek lain.

3. Konsep sikap membantu untuk menjelaskan konsistensi dari perilaku seseorang, untuk sikap tunggal dapat menggarisbawahi aksi-aksi yang berbeda. ( Allport berpendapat konsistensi dari perilaku individu membantu untuk menerangkan stabilitas dari masyarakat.)

4. sikap penting dalam kebenaran mereka sendiri, tergantung pada hubungan mereka terhadap perilaku seseorang. Sikap anda terhadap bermacam-macam individu, institusi, dan isu-isu sosial.

5. Konsep sikap relatif netral dan dapat diterima pada banyak teori ilmu pengetahuan. Singkatnya, sikap dapat menjembatani kontroversi antara hereditas dan lingkungan, pada kedua instinct dan pembelajaran dapat membangun formasi dari sikap.

6. Sikap merupakan konsep interdisipliner. Tak hanya psikologis tapi juga sosiologis, pengetahuan politik, komunikasi peneliti-peneliti, dan antropologis semuanya mempelajari sikap.

Sikap dalam Pandangan Martin Fishbein & Icek Ajzen

Dari penjelasan diatas, Fishbein & Ajzen memandang sikap hanya pada satu sisi saja yaitu lebih menekankan pada sisi afektif. Fishbein & Ajzen (1975) mendefinisikan sikap sebagai berikut : “attitude can be described as a learned predisposition to respon in a consistenly favorable or unfavorable manner with respect to a given project”. Dalam penjelasan ini sikap digambarkan sebagai predisposisi (kecenderungan) cara merespon secara konsisten dengan memberikan penilaian suka atau tidak suka terhadap objek. Tiga poin penting menurut mereka mengenai sikap yaitu sikap adalah dipelajari, sikap merupakan predisposisi dari suatu tingkah laku, dan sikap mengandung penilaian baik suka atau tidak suka terhadap suatu objek.

Fishbein & Ajzen memang menekankan sikap dari segi afektif (penilaian positif atau negatif terhadap objek), namun tidak terlepas dari itu mereka juga berorientasi pada skema triadik. Skema triadik merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berpeilaku terhadap suatu objek (dalam Azwar, 2002). Hal ini diperkuat dengan pendapat Fishbein &Ajzen (1975:11-12), yaitu :

“One distinction that has been repeatedly proposed is the age-old trilogy of affect, cognition and conatin. Affect refers to a person’s feeling to ward and eveluation of some object, person, issue, or event; cognition denotes his knwledge, opinions, beliefs, and thoughts about the object; and conation refers to his behavioral intentionsand his actions respect to or in he presence of the object. Since, when dealing with attitudes, we are concerned with predisposotions to behave rather than behavior it self, it seems desirable to make a distinction between behavioral intention and actual behavioral. This suggest a classification consisting of four broad categories: affect (feelings, evaluation), cognition (opinions, beliefs), conation (behavioral intention), and behavior (observed overt acts).”

Klasifikasi sikap yang diungkap Fishbein & Ajzen (1975) :

a. Afeksi, mengarah pada perasaan seseorang serta evaluasinya terhadap suatu objek, manusia, pokok persoalan atau peristiwa.

b. Kognisi, nerupakan pengetahuan seseorang, opini-opini, keyakinan-keyakinan tentang suatu objek.

c. Konasi, konasi yang dinaksudkan yaitu intensi untuk berperilaku.

d. Perilaku, Fishbein & Ajzen membedakan antara intensi untuk berperilaku dengan perilaku yang tampak dan dapat diobservasi.

Fishbein dan Ajzen (1975) berpendapat jika ada dua komponen dalam pembentukan sikap yaitu :

    1. Behavioral Belief adalah keyakinan-keyakinan yang dimilki seseorang terhadap perilaku dan merupakan keyakinan yang akan mendorong terbentuknya sikap.
    2. Evaluation of behavioral belief merupakan evaluasi positif atau negatif individu terhadap perilaku tertentu berdasarkan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya.

Rumusan sikap (attitude toward behavior) terhadap intensi atau indikasi dari niat untuk berperilaku menurut Ajzen (2005) adalah sebagai berikut :

Text Box: A


Keterangan :

A = Sikap terhadap perilaku B

b= Behavioral Belief melakukan perilaku B akan menghasilkan i

e= Evaluation of Behavioral Belief (Evaluasi terhadap hasili)

2.1.2.2 Subjective Norm (Norma Subyektif)

Menurut Kreitner & Kinicki (2001), norma subjektif diartikan sebagai penerimaan tekanan sosial untuk menampilkan sebuah perilaku yang spesifik.

Selanjutnya Fishbein dan Ajzen (1975) menerangkan bahwa “The Subjective norm is the person’s perception that most people who are important to him think he should or should not pemrform the behavior in question”. Mereka mendefinisikan jika norma subyektif merupakan persepsi individu berhubungan dengan kebanyakan dari orang-orang yang penting bagi dirinya mengaharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tertentu, orang – orang yang penting bagi dirinya itu kemudian dijadikan acuan atau patokan untuk mengarahkan tingkah laku.

Norma Subyektif merupakan dasar determinan kedua dari intensi dalam teori planned behavior , norma subyektif pun masih terkait dengan beliefs (keyakinan-keyakinan). Namun belief pada norma subyektif berbeda jenis dengan belief dalam sikap karena belief dalam norma subyektif merupakan representasi persepsi dari significant others (tokoh panutan) baik perorangan maupun berkelompok yang kemudian mempengaruhi individu apakah akan menampilkan perilaku atau tidak.

Norma subyektif menurut Eagly dan Chaiken (1993) maupun Fishbein dan Ajzen (1975) ditentukan oleh dua hal yaitu :

  1. Normative beliefe, merupakan keyakinan yang berhubungan dengan pendapat tokoh atau orang lain baik perorangan maupun kelompok yang penting dan berpengaruh bagi inidividu yang biasa disebut dengan significant others (tokoh panutan) yang menjadi acuan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu. Maka individu termotivasi untuk melakukan tingkah laku tersebut.
  2. Motivation to comply, yaitu seberapa jauh motivasi individu untuk mengikuti pendapat tokoh panutan tersebut.

Text Box: SN    Rumusan Subjective Norm (Norma Subyektif) terhadap intensi atau indikasi dari niat untuk berperilaku menurut Ajzen (2005) adalah sebagai berikut :

Keterangan:

SN = Subjective Norm

n= Normative Belief tentang i

m = Motivation to comply pada individuterhadap i

2.1.2.3 Perceived Behavioral Control (PBC)

Dasar determian ketiga dari teori Planned Behavior adalah Perceived Behavioral Control (PBC), sama dengan dua determinan terdahulu PBC juga terkait dengan belief. Belief dalam PBC mengenai hadir atau absennya faktor yang memfasilitasi atau menghalangi munculnya perilaku individu

Ajzen (1988) mendefinisikan Perceived Behavioral Control (PBC) sebagai berikut : “this factor refresh to the perceived ease or difficulty peforming the behavior and it assume to reflect past experience as well as anticipates impediment and obstacles”, faktor ini menggambarkan persepsi individu mengenai mudah atau tidaknya individu untuk melakukan tingkah laku dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi.

Dalam Ajzen (2005), hal yang perlu diingat mengenai teori planned behavior tidaklah secara langsung dengan banyaknya kontrol individu mempngaruhi situasi, justru menganggap kemungkinan efek dari PBC dalam pencapaian akhir tingkah laku. Dimana intensi merefleksikan keutamaan keinginan individu untuk mencoba kemungkinan pengaruh tingkah laku, dan perceived control seperti menimbang beberapa hal dari pertahanan-pertahananrealistis yang masih ada. Lebih luasnya adalah persepsi dari kontrol tingkah laku turut menyebabkan kontrol langsung dan mereka harus mengembangkan informasi yang melingkupi intensi.

Masihi menurut Ajzen (2005), ada dua hal penting terkait dengan teori planned behavior. Yang pertama adalah asumsi jika PBC memiliki implikasi-implikasi motivasional terhadap intensi. Seseorang yang yakin jika dirinya tidak memiliki sumber-sumber maupun tidak memilki kesempatan untuk memunculkan tingkah laku, lebih cenderung tidak akan memiliki intensi yang kuat untuk memunculkan tingkah laku tersebut meskipun ia memiliki attitude toward behavior (sikap terhadap tingkah laku ) yang positif dan percaya bahwa orang-orang yang penting dan berarti bagi dirinya (significant others) akan setuju ia memunculkan tingkah laku tersebut. Dengan demikian menunjukkan adanya hubungan anatara PBC dan intensi tanpa perantara sikap dan norma subyektif. Seperti yang terlihat pada gambar 2.1, ditunjukkan dengangaris panah penghubung antara PBC ke arah intensi.

Hal kedua adalah kemungkinan adanya hubungan langsung antara PBC dengan behavior (tingkah laku). Pada beberapa contoh pemunculan tingkah laku tidak hanya tergantung pada motivasi untuk melakukannya tetapi jug adekuat yang mengontrol tingkah laku dalam petanyaan. Dengan demikian PBC dapat memprediksi tujuan bebas tingkah laku intensi, lebih luasnya PBC merefleksikan kontrol langsung dengan derajat keakuratan. Dengan kata lain, PBC dapat mempengaruhi tingkah laku secara tidak langsung, melalui intensi, dan PBC juga dapat digunakan untuk meramalkan tingkah laku secara langsung.

Text Box: PBC    Rumusan Perceived Behavioral Control (PBC) terhadap intensi atau indikasi dari niat untuk berperilaku menurut Ajzen (2005) adalah sebagai berikut :

Keterangan:

PBC = Perceived Behavioral Control

c= Control Belief yang diberikan faktor i yang akan ditunjukkan

p = Power (kekuatan) faktor i untuk memfasilitasi ataupun menghalangi munculnya perilaku.

2.2 Pelanggaran Lalu Lintas

Pelanggaran lalu lintas salah satu fenomena ketidak tertiban yang sering muncul menyertai aktivitas berkendara sehari-hari dan sesungguhnya memiliki dampak terhadap proses keselamatan setiap pengguna jalan.

Pelanggaran lalu lintas merupakan perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk mempermudah dalam berkendara. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berlalu lintas seperti pengaturan jalur-jalur laju kendaraan, traffic light (lampu lalu lintas),tanda-tanda lalu lintas, penggunaan tanda kendaraan (misalnya lampu dan klakson), hingga kelengkapan peralatan dan surat yang wajib dimiliki oleh para pengguna jalan sesungguhnya merupakan suatu pembentukan keadaan yang tertib yang bisa mempermudah pengguna jalan jika setiap pengguna jalan mematuhinya.

Menurut Jusri Pulubuhu, Training Director JDDC Jakarta, ada tiga tipe pengendara yaitu pengendara defensif, pengenadara aktif dan pengendara pasif.

1. Pengendara Defensif

Tipe pengendara defensif memiliki kecenderungan pro aktif. Selalu bisa membaca situasi. Tidak suka menduga-duga terhadap kemungkinan yang bakal terjadi, jelasnya.

Contoh karakter ini bisa dilihat dari cara berkendara. Ia selalu waspada, jika di depan ada kendaraan pelan. Pengendara defensif akan memberikan tanda agar pengendara lain tahu keberadaannya. Bisa dengan memberikan klakson.

Pengendara defensif mampu melakukan penyesuaian terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi. Jika dilihat jalan tidak memungkinkan untuk mengebut tentu ia akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

2. Pengendara Aktif

Tipe kedua pengendara aktif. Ridwan Z Syaaf menyebutnya dengan tindakan agresif. Tidak peduli terhadap aturan lalu lintas. Egonya sangat tinggi. Tujuannya agar cepat sampai tanpa memperhatikan kaidah yang berlaku. Tipe inilah yang kerap menimbulkan potensi kecelakaan di jalan raya. Munculnya sikap agresif atau aktif ini bisa karena lingkungan. Kemacetan misalnya, orang ingin cepat sampai maka dilakukan segala cara. Menerobos lampu merah atau berkendara diatas trotoar merupakan salah satu contoh konkret tipe agresif ini.

3. Pengendara Pasif

Terakhir adalah tipe pasif. Karakternya pengendara jenis ini memiliki kecenderungan acuh tak acuh. Tipe tidak sadar bahwa jalanan merupakan killing field. Mereka menanggap bahwa berkendara adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, tidak memiliki potensi bahaya.

2.3 Kerangka Berpikir

Masalah melanggar lalu lintas merupakan masalah yang sering hadir dalam bertransportasi khususnya di darat. Tak jarang jika melanggar lalu lintas menjadi sebuah jalan pintas dalam mempermudah dan segera sampai di tempat tujuan. Ada beberapa orang yang memandang jika melanggar lalu lintas merupakan hal yang tidak serius namun ada juga beberapa orang yang memandang jika melanggar lalu lintas merupakan hal yang sangat serius. Seolah melanggar lalu lintas dirasa bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan meski itu bisa membahayakan orang lain, sehingga hal yang ditakutkan adalah jika melanggar lalu lintas ini menjadi sebuah budaya dalam transportasi yang pada akhirnya meruntuhkan sistem yang sudah dibangun. Hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah tatanan nilai sudah mulai bergeser sehingga “nilai“ baik atau buruk sudah sulit untuk dibedakan.

Jika melanggar peraturan lalu lintas merupakan produk dari pergeseran nilai yang akan berpengaruh pada perubahan sikap, maka sebuah pandangan terhadap pelanggaran lalu lintas akan menjadi hal lumrah untuk dilakukan. Namun tidak semudah itu pula sikap tersebut terbentuk, ada hal lain seperti keyakinan yang turut berpengaruh dalam pembentukan sikap tersebut. Keyakinan merupakan represantasi dari apa yang individu ketahui tentang

melanggar peraturan lalu lintas dan kekuatan keyakinan yang dimiliki individu berbeda-beda. Setelah itu individu mencoba mengevaluasi keyaknannya dan memikirkan konsekwensi ayng ia terima saat ia melakukan atau setelah ia melakukan pelanggaran peraturan lalu lintas.

Norma subyektif juga turut berperan dalam menentukan intensi berperilaku. Seperti yang dikemukakan Fisbein dan Ajzen, jika norma subyektif merupakan persepsi individu berhubungan dengan kebanyakan dari orang-orang yang penting bagi dirinya mengaharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tertentu, orang – orang yang penting bagi dirinya itu kemudian dijadikan acuan atau patokan untuk mengarahkan tingkah laku.

Selain sikap dan norma subyektif, PBC (Perceived Behavioral Control) juga berpengaruh dalam pembentukan intensi. PBC menggambarkan persepsi individu mengenai mudah atau tidaknya individu untuk melakukan tingkah laku dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi.

Apa yang telah tertanamkan dalam sikap individu, norma subyektif dan PBC (Perceived Behavioral Control) tentang melanggar peraturan lalu lintas ini kemudian peranannya dalam membentuk intensi, kemudian apakah akan berniat untuk melakukan atau tidaknya perilaku melanggar tersebut.


2.4 Hipotesis

Hipotesis merupakan kesimpulan sementara, yang kebenarannya masih harus diuji. Dalam penelitian ini, penulis mengajukan hipotesa sebagai berikut:

a. Hipotesa Alternatif (Hi)

1. Sikap memiliki peranan yang kuat terhadap intensi melakukan pelanggaran peraturan lalu lintas pada warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur.

2. Norma subyektif memiliki peranan yang kuat terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas pada warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur.

3. PBC (Perceived Behavioral Control) memiliki peranan yang kuat terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas pada warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur.

b. Hipotesa Nol (Ho)

1. Sikap tidak memiliki peranan yang kuat terhadap intensi melakukan pelanggaran peraturan lalu lintas pada warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur.

2. Norma subyektif tidak memiliki peranan yang kuat terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas pada warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur.

3. PBC (Perceived Behavioral Control) tidak memiliki peranan yang kuat terhadap intensi melanggar peraturan lalu lintas pada warga RT:5 RW:5 Cempaka Putih, Ciputat Timur.

BERIKAN KOMENTAR ()
 
wisata tradisi game kuliner
close