BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Gizi merupakan salah satu input penting untuk menentukan kualitas SDM. Salah satu indicator yang menentukan kualitas gizi anak adalah tinggi badan mereka. Lebih dari 36,1 persen anak usia pra sekolah di Indonesia tergolong pendek, sehingga akan berdampak negatif pada saat mereka memasuki usia sekolah. Prevalensi anak pendek semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran ini ditemukan baik jenis kelamin laki-laki maupun perempuan (Khomsan, 2012).
Tinggi badan merupakan salah satu indicator gizi bangsa. Protein, kalsium, vitamin A, yodium dan seng mempunyai efek langsung terhadap pertumbuhan tinggi badan. Kalsium merupakan nutrisi penting untuk mendukung pertumbuhan tinggi badan seorang anak. Kebutuhan kalsium bisa mencapai 1.000 mg per hari. Jumlah tersebut merupakan jumlah kebutuhan kalsium tertinggi dalam rentang kehidupan manusia. Pada saat remaja terjadi pertumbuhan kerangka tulang yang cepat, sebnyak 40-50% dari total kerangka manusia dibentuk pada periode remaja (Khomsan, 2012).
Pendek menunjukkan kekurangan gizi kronis yang terjadi dimasa lalu. Parameter yang digunakan adalah tinggi badan. Seorang anak dikatakan pendek apabila berdasarkan perhitungan indeks TB/U dia berada pada rentang -2 SD sampai dengan -3 SD, sedangkan dikatakan sangat pendek apabila perhitungan indeks TB/U nilainya <-3 SD ( Purnamasari, 2018).
Prevalensi anak pendek diseluruh dunia menurut WHO pada tahun 2013 sebanyak 161 juta, masih cukup besar, walaupun sudah mengalami penurunan dibandingkan tahun 2010 169 juta. Data WHO 2017, terdapat 178 juta balita mengalami stunting. Afrika dan Asia menjadi dua benua dengan angka kejadian balita stunting tertinggi di dunia dengan persentase masing-masing 40% dan 36%. Indonesia sendiri masuk dalam 10 besar negara dengan kasus balita stunting tertinggi di Asia bersama dengan negara Asia lainnya yaitu Bangladesh, Tiongkok, India, Pakistan dan Filipina. Secara nasional, prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun 30,7% (12,3% sangat pendek dan 18,4% pendek). Prevalensi sangat pendek terendah di DI Yogyakarta (14,9%) dan tertinggi di Papua (34,5%) (Purnamasari, 2018).
Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi pendek anak balita secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek. Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun 2007 menjadi 19,2 persen pada tahun 2013.
Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu:(1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4) Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi Tenggara, (8) Sumatera Utara, (9) Aceh, (10) Kalimantan Tengah, (11) Maluku Utara, (12) Sulawesi Tengah, (13) Sulawesi Selatan, (14) Maluku, (15) Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18) Gorontalo, (19) Kalimantan Barat dan (20) Jambi.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Sebanyak 14 provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Ke 15 provinsi tersebut adalah: (1) Papua, (2) Maluku, (3) Sulawesi Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi Tengah, (6) Kalimantan Tengah, (7) Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi Tenggara, (10) Lampung, (11). Kalimantan Selatan, (12). Papua Barat, (13). Nusa Tenggara Barat, (14). Sulawesi Barat dan (15) Nusa Tenggara Timur.
Hasil Penilaian Status Gizi tahun 2017 berdasarkan indeks TB/U secara nasional anak baduta (0-23 bulan) kategori sangat pendek sebanyak 6,9 % dan pendek 13,2%. Sedangkan anak balita (24-59 bulan) kategori sangat pendek 9,8% dan status gizi pendek 19,8%. Persentase Sangat Pendek dan Pendek Anak baduta Umur 0-23 Bulan, Menurut Provinsi tahun 2017, Provinsi Kalimantan Tengah pendek 17,8% dan sangat pendek 12,6%, Kalimantan Barat pendek 17,4% dan sangat pendek 10,9%, Nusa Tenggara Timur pendek 17% dan sangat pendek 12,8, Sulawesi Barat pendek 16,8% dan sangat pendek 9,4%.
Status Gizi Balita Umur 24 -59 Bulan Berdasarkan Indeks TB/U, menurut Provinsi 2017 dengan prevalensi stunting diatas nasional (sangat pendek 9,8% dan sangat pendek 19,8%) kategori pendek tertinggi NTB (26%), Sulbar (25,1%), Sulsel (24,6), Kalteng (23,6), Kalbar (23,5) Aceh (23,5%) dan NTT (22,3%). Status gizi kategori Sangat pendek tertinggi provinsi NTT (18,0%) dan terendah Kepulauan Riau (4,7%) (Kemenkes, 2018).
B. Rumusan Masalah.
1. Apa itu stunting?
2. Apa penyebab stunting?
3. Apa dampak stunting?
4. Bagaimana mencegah stunting?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu stunting.
2. Untuk mengetahui penyebab stunting.
3. Untuk mengetahui dampak stunting.
4. Untuk mengetahui cara pencegahan stunting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Stunting
Stunting atau pendek merupakan kondisi gagal tumbuh pada bayi (0-11 bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya (Persagi, 2018).
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, tetapi kondisi stunting baru nampak setelah anak berusia 2 tahun. Balita dikatakan pendek nilai Z-score-nya panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD / standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3 SD (severely stunted). Balita stunted akan memiliki kecerdasan tidak maksimal, menjadi lebih rentan terhadap penyakit, dan dimasa depan dapat beresiko menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya, secara luas, stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan (Persagi, 2018).
2. Penyebab Stunting
Stunting disebabkan oleh factor multidimensional, diantarannya praktik pengasuhan gizi yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting perlu dilakukan pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dari anak balita. Peluang intervensi kunci yang terbukti efektif di antaranya adalah intervensi yang terkait praktik-praktik pemberian makanan anak dan pemenuhan gizi ibu (Persagi, 2018).
Beberapa fakta dari informasi yang ada menunjukan bahwa hanya 22,8% dari anak usia 0-6 bulan yang menyusu eksklusif dan hanya 36,6% anak usia 7-23 bulan yang menerima makanan pendamping ASI (MPASI) yang sesuai dengan praktik-praktik yang direkomendasikan tentang pengaturan waktu, frekuensi dan kualitas (Persagi, 2018).
MPASI diberikan atau mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI serta membantu daya tahan tubuh dan perkembangan system imunologis anak terhadap makan dan minuman. Oleh karena itu, masyarakat dan petugas kesehatan perlu memahami pentingnya ASI eksklusif dan praktik-praktik pemberian makanan bayi dan anak yang tepat serta memberikan dukungan kepada para ibu (Persagi, 2018).
Faktor penyebab terjadinya stunting beragam yang mencakup kecukupan zat gizi tidak adekuat dalam jangka waktu panjang dan diperparah dengan terjadinya penyakit infeksi secara terus menerus. Terganggunya proses pertumbuhan linier tersebut diakibatkan karena adanya adaptasi tubuh terhadap asupan yang rendah dan mengakibatkan kecukupan zat gizi yang tidak adekuat, sehingga proses metabolisme tubuh akan terganggu dan akhirnya proses terbentuknya sel atau jaringan akan terhambat (Dewi dan Nindia, 2017).
Asupan makanan yang rendah akan mengakibatkan kelaparan tersembunyi atau masalah gizi yang tidak kasat mata yang disebabkan karena kurangnya zat gizi mikro, seperti zat besi dan seng. Seringkali, makanan yang dikonsumsi berupa makanan yang tinggi akan karbohidrat, namun rendah akan bahan makanan seperti lauk hewani, sayur, dan buah (Dewi dan Nindia, 2017).
Balita yang lahir dengan berat badan rendah berpeluang untuk menjadi pendek dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat badan normal. Dampak dari berat badan lahir rendah akan terus berlanjut dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Anak yang mengalami BBLR memiliki risiko untuk mengalami ukuran antropometri yang kurang pada saat dewasa. Perempuan yang lahir dengan berat lahir rendah memiliki risiko untuk tumbuh menjadi ibu yang stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR dan selanjutnya akan tumbuh menjadi balita yang stunting (Hidayat, 2017).
3. Dampak Buruk Stunting
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting:
1) Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh
2) Jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua
Kesemuanya itu akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, produktifitas, dan daya saing bangsa (Kementerian Desa, 2017).
4. Pencegahan Stunting
Pencegahan stunting dilakukan melalui intervensi gizi spesifik yang ditujukan dalam 1.000 hari pertama Kehidupan (HPK). Intervensi gizi spesifik untuk mengatasi permasalahan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui 0-6 bulan, ibu menyusui 7-23 bulan, anak usia 0-6 bulan, dan anak usia 7-23 bulan. Permasalahan gizi ini bisa diatasi ketika mereka memahami masalahnya dan mengetahui cara mengatasinya sesuai dengan kondisi masing-masing. Pemberian konseling gizi kepada individu dan keluarga dapat membantu untuk mengenali masalah kesehatan terkait gizi, memahami penyebab terjadinya masalah gizi dan membantu serta individu serta keluarga memecahkan masalahnya sehingga terjadi perubahan perilaku untuk dapat menerapkan perubahan perilaku makan yang telah disepakati bersama (Persagi, 2018).
Menurut Kementerian Desa (2017) Penangan stunting dilakukan melalui Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif pada sasaran 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak sampai berusia 6 tahun.
Intervensi Gizi Spesifik
a. Intervensi yang ditujukan kepada ibu hamil dan anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan
b. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan
c. Intervensi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek
Intervensi Gizi Sensitif
a. Intervensi yang ditujukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sector kesehatan
b. Sasarannya adalah seluruh masyarakat umum, tidak khusus untuk sasaran 1.000 hari pertama kehidupan.
1) Intervensi Gizi Spesifik
Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan.
Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil:
a. Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis.
b. Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat.
c. Mengatasi kekurangan iodium.
d. Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil.
e. Melindungi ibu hamil dari Malaria.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan:
a. Mendorong inisiasi menyusui dini (pemberian ASI jolong/colostrum).
b. Mendorong pemberian ASI Eksklusif.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan:
a. Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI.
b. Menyediakan obat cacing.
c. Menyediakan suplementasi zink.
d. Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan.
e. Memberikan perlindungan terhadap malaria.
f. Memberikan imunisasi lengkap.
g. Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
2) Intervensi Gizi Sensitif
Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari PertamaKehidupan (HPK).
a. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih.
b. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi.
c. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan.
d. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).
e. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
f. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
g. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.
h. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal.
i. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat.
j. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada Remaja.
k. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
l. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi.
BAB IIIPENUTUP
A. Simpulan
1. Pengertian Stunting atau pendek merupakan kondisi gagal tumbuh pada bayi (0-11 bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
2. Penyebab: Stunting disebabkan oleh factor multidimensional, diantarannya praktik pengasuhan gizi yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan, bayi lahir BBLR, dan lain-lain
3. Dampak Stunting: Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh, jangka panjang adalah obesitas yang akan menyebabkan munculnya berbagai penyakit degeneratif.
4. Pencegahan stunting dapat melalui intervensi gizi spesifik dan sensitive.
B. Saran
1. Bagi pemerintah
Perlu diadakan program promosi kesehatan yang dimulai dari masyarakat bawah dengan pendekatan keluarga, untuk menanggulangi masalah stunting yang masih sangat tinggi di Indonesia.
2. Bagi masyarakat
Perlunya menerapkan pemberian ASI eksklusif bagi anak-anak dan menjaga sanitasi lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi & Nindia. 2017. Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi Dan Seng Dengan Kejadian Stunting Pada Balita 6-23 Bulan. Jurnal Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas Airlangga. Diakses 11 September 2018.
Hidayat, Muhammad, & Pinatih, Gusti. 2017. Prevalensi stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sidemen Karangasem. E-Jurnal Medika,Vol 6 No 7, Juli 2017. Ilmu Kedokteran Komunitas dan Pencegahan, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Diakses 11 September 2018.
Khomsan, Ali. 2012. Ekologi Masalah Gizi, Pangan dan Kemiskinan. Bandung: Alfabeta
Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes.
Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku PSG Nasional Tahun 2018. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat
Kementerian Desa. 2017. Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Purnamasari, Dyah Umiyarni. 2018. Panduan Gizi & Kesehatan Anak Sekolah. Yogyakarta: Penerbit Andi
Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2018. Stop Stunting dengan Konseling Gizi. Jakarta: Penebar Plus