MAKALAH
PEMBENTUKAN KONSEP LOGIKA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Mata Kuliah : Psikologi Kognitif
Dosen Pengampu : Dr. Yessy Elita, M.Psi
\
Oleh:
Irma Nur Anisah A1G015021 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Untuk beberapa orang psikologi kognitif adalah ilmu tentang berpikir dan pemikiran dapat dikatakan sebagai mahkota kognisi. Untuk beberapa orang menjadi sangat brilian, bahkan menjadi amat mulia diantara kebanyakan orang; dan dalam kenyataanya fakta tersebut terjadi, salah satu keajaiban spesies kita. Dalam realitas, “berpikir” merupakan istilah umum dari pemrosesan informasi. Dengan demikian berpikir tentang pemikiran-meta, mungkin menjadi suatu tugas yang sulit ditanggulangi, karena mengaitkan seluruh tema yang telah disebutkan sebelumnya—deteksi energy eksternal, neurofisiologi, persepsi, memori, bahasa, perbandingan, dan pribadi yang berkembang.
2. Rumusan Masalah
1. Apakah hakikat dari berfikir ?
2. Bagaimanakah aktivitas kognitif ?
3. Bagaimanakah penalaran Deduktif ?
4. Bagaimanakah penalaran Induktif ?
5. Bagaimanakah pengambilan keputusan setiap individu ?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui hakikat berfikir.
2. Untuk mengetahui aktivitas kognitif.
3. Untuk mengetahui penalaran deduktif.
4. Untuk mengetahui penalaran induktif.
5. Untuk mengetahui bagaimana pengambilan keputusan setiap individu.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pembentukan Konsep
Pembentukan konsep berhubungan dengan pengasahan sifat-sifat yang sesuai dengan kelas objek atau ide. Dalam pembahasan ini kita akan lebih berkonsentrasi dengan ciri konseptual. Definisi awal konsep adalah “penggambaran mental, ide, atau proses”. Konsep didefinisikan dalam ciri-cirinyaa. Ciri-ciri seperti yang telah digunakan di sini adalah karakteristik suatu objek atau kejadian yang juga merupakan karakteristik objek. Dari sudut pandang kognitif, dasar untuk menerima sebuah karakteristik sebagai sebuah ciri adalah subjektif. Jadi, sseorang dapat membayangkan sesuatu dengan “ciri kritis” seuah objek atau ide adalah penggunaan sesuai keadaan. Dalam hal ini konseptual mirip dengan proses yang dibutuhkan dalam deteksi signal, yang mana penerimanya sebagai ciri dari sebuah konsep ditentukan oleh kakunya kriteria. Penentuan kriteria adalah seperti menentukan toleransi untuk beberapa banyak ciri yang dibutuhkan untuk dapat menjadi bagian kelas objek tertentu.
a. Asosisasi
Proses asosiasi mendalilkan bahwa pembelajaran konsep adalah hasil dari (1) menguatkan pasangan tepat dari sebuah stimulus dengan respons yang mengindentifikasikannya sebagai sebuah konsep, dan (2) non-penguatan (bentuk hukuman) pasangan yang tidak tepat dari sebuah stimulus dengan respons untuk mengidentifikasikannya sebagai konsep.
b. Pengujian Hipotesis
Tahap awal dalam pembentukan konsep adalah memilih hipotesis atau strategi yang konsisten dengan objek penyelidikan kita. Ketika kita mencari untuk menemukan sesuatu prosesnya meliputi pembentukan prioritas-prioritas.
Partisipan strategi boleh memilih dalam pembentukan konsep untuk menyertakan pemindaian dan pemusatan, masing-masing memiliki subtipenya yaitu pemindaian simultan, pemindaian berturut-turut, pemusatan konservatif dan kemungkinan focus. Dari strategi yang diutarakan, pemfokusan konservatif menjadi paling efektif; teknik memindai hanya memberikan tingkat kesuksesan marginal.
2. Logika
Berfikir adalah proses umum untuk menentukan sebuah isu dalam pikiran, sementara logika adalah ilmu berpikir. Walaupun dua orang dapat berpikir tentang hal yang sama, kesimpulan—keduanya diraih melalui pemikiran—mungkin berbeda, yang saru logis, yang lain tidak logis. Berpikir dan logika telah menjadi subjek spekulasi untuk waktu yang lama. Lebih dari 2000 tahun lalu Aristoteles memperkenalkan suatu system penalaran atau validasi argument yang kita sebut silogisme. Sebuah silogisme mempunyai 3 langkah—sebuah premis mayor, premis minor, dan konklusi, dalam urutan demikian.
Konklusi diraih ketika penalaran silogistik diakui valid atau benar, jika premis-premisnya akurat dan bentuknya benar. Maka, sangat mungkin untuk menggunakan logika soligistik untuk validasi argument. Konklusin yang tak logis dapat ditentukan dan sebab-sebabnya terisolasi. Ini merupakan pernyataan ringkas dasar teori dan banyak reset mengenai pemikiran dan logika.
Sebuah ciri menarik dari penggunaan logika silogistik dalam penelitian kognitif adalah kemampuannya memungkinkan kita untuk mengevaluasi atau mengesahkan pembenaran dari proses pikiran berdasarkan bentuknya alih-alih isinya.
a. Penalaran Deduktif
Proses penalaran yang di dalamnya kesimpulan-kesimpulan yang spesifik disusun berdasarkan prinsip-prinsip yang lebih umum atau berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahui sebelumnya.
Deduksi 1) dalam logika tradisional, protes penarikan, dengan penalaran, konklusi tertentu dari prinsip-prinsip umum yang diasumsikan benar. Silogisme Aristoteles adalah contoh klasik dari penalaran deduktif dalam tradisi. 2) dalam logika kontemporer, pernyataan apapun diperoleh dengan sebuah transformasi aturan dalam sebuah aksioma; lebih umum, istilah ini sekarang ditujukan pasa sebuah proses mendapatkan teorema dalam aksioma-aksiomanya, atau konklusi dari premis-premis, dengan aturan formal (aturan transformasi).
b. Penalaran Silogistik
Riset awal untuk mempelajari penalaran silogistik didasarkan pada laporan partisipan dari “apa yang terjadi dalam kepalaku” yang juga diketahui sebagai prosedur “berbicara kera” ketika partisipan mengungkapkan secara verbal langkah yang mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah. Walaupun teknik intropeksi ini kekurangan dasar ilmu empiris yang dibutuhkan, 3 variabel independen telah muncul dari sana: bentuk argument, isi argument, dan kemajemukan individu partisipan.
Bentuk, salah satu cara memecahkan silogisme adalah dengan menggambar diagram yang disebut diagram Venn. Beberapa silogisme lebih sulit dibandingkan yang lain mungkin disebabkan oleh pengetahuan dan kemampuan yang anda miliki untuk mengenali argument yang logis ketika anda menghadapinya.
Atmosfer Efek Atmosfer adalah kecendurungan untuk menerima atau menolak suatu argument berdasarkan bentuknya. Dengan kata lain, mengajukan suatu argument dengan cara tertentu saja bisa mempengaruhi tingkat penerimaan argument itu.sebuah studi menarik pernah dilakukan oleh Clement dan Fahmagne (1986) yang menyatakan bahwa pengetahuan dunia dan gambaran mental berhubungan dengan penalaran logis. Pada dasarnya, peneliti mengubah-ubah tingkat gambaran dari istilah-istilah dan keteraitannya dengan premis bersyarat dalam silogisme.
Isi, karena bisa mempertahankan bentuk argument sambil mengubah-ubah isinya, yang belakangan juga telah menjadi alat yang berguna dalam analisis proses penalaran. Jika premis dari silogisme-silogisme benar, maka kesimpulannya juga benar, walaupun suatu kesimpulan mungkin lebih sulit diterima daripada kesimpulan yang lain. Pengaruh isi atas keabsahan suatu argumen mengingatkan kita bahwa proses kognitif tidaklah sederhana dan tidak mengesampingkan dampak pengetahuan yang tersimpan dalam memori jangka panjang.
3. Pengambilan Keputusan
Penalaran Induktif
Salah satu bentuk lain dari penalaran disebut penalaran induktif. Dalam penalaran induktif, sebuah kesimpulan biasaya dinyatakan secara implisit atau eksplisit dalam konteks pernyataan kemungkinan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasa membuat keputusan yang tidak terlalu mencerminkan hasil paradigma silogistik yang sudah dipikirkan baik-baik, tapi dalam konteks induktif, yang keputusannya berdasarkan masa lalu dan ksimpulannya berdasarkanyang dirasa sebagai pilihan terbaik dari sejumlah alternative.
Induksi dalam logika proses penalaran dari khusus ke umum. Francis Bacon mengajukan induksi sebagai logika penemuan ilmiah dan deduksi sebagai logika argumentasi. Sebenarnya, kedua proses ini digunakan bersama secara teratur dalam ilmu empiric, dengan pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa tertentu atau induksi dan dari prinsi-prinsip yang sudah diketahui atau deduksi, prinsip hipotesis baru kemudian dirumuskan dan hukum dimunculkan.
Pengambilan Keputusan dalam Kehidupan Nyata
Dialog Penalaran¸salah satu argument bisa diuraikan adalah dengan mengindentifikasikan komponen structural pokok seperti yang dilakukan oleh RIPS dan Koleganya ( RIPS 1998; RIPS, Brem, Baylenson, 1999). Komponen dialog dari argumentative terdiri dari tuntutan kadang-kadang diikuti oleh kelonggaran, permitaan atas dasar kebenaran atau penyangkalan; penyangkalan bisa diikuti oleh kelonggaran atau sangkalan tandingan, dll
Buah Pikiran yang Keliru dari Reifikakasi, Reifikasi suatu ide artinya menganggap bahwa ide itu nyata ketika sebenarnya ide itu bersifat hipotetis atau metafora.
Argumen Ad Hominem, argument Ad Hominem adalah argument yang menyerang karakter dan bukan isi argumennya. Yang berkaitan dengan argument Ad Hominem adalah argument yang disahkan berdasarkan pengalaman seseorang atau pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman seseorang.
Argumen yang Menggunakan Paksaan dan Kekuatan, kekuatan dan moralitas mungkin bagus, tapi tidak ada hubungannya dengan perjanjian dan hak suatu bangsa atas kedaulatan. Meskipun demikian, sungguh “manusiawi” untuk mengajukan argument semacam itu.
Menggunakan Kekuasaan dan Ketenaran, praktek ini biasa dijumpai diantara para pembuat iklan.
Argumen Mayoritas Pasti Benar, argumennya adalah jika kebanyakan orang melakukan sesuatu, hal itu pasti benar.
Argumen Manusia Jerami, argumen manusia jerami artinya membangun suatu argumen yang leamah dan menghubungkannya dengan orang lain sehingga anda bisa mengalahkannya. Karakteristik argumen manusia jerami yaitu sebuah ciri yang mencolok ( meskipun sangat tidak penting) difokuskan dan dipentingkan untuk mengalihkan tujuan utama argument.
Dukungan Neurosains Kognitif
Studi ilmiah mengenai hubungan antara otak disatu sisi dan penalaran serta pemikiran disisi lain sudah sejak dulu menjadi wilayah ahli saraf (yang berkonsentrasi pada pasien dengan beragam masalah saraf) dan, baru belakangan, ahli neuropsikologi kognitif (yang berkonsentrasi pada studi pengambaran dengan partisipan normal).
Kerangka Keputusan
Kerangka Keputusan merupakan konsepsi tindakan, hasil keluaran, serta kontigensi pembuat keputusan yang diasosiasikan dengan pilihan-pilihan tertentu. Sebuah kerangka diadopsi oleh seseorang saat akan membuat keputusan, dikendalikan oleh permulasi masalah serta norma, kebiasaan, dan karakteristik personal dari individu tersebut. Para peneliti telah mendemontrasikan secara jelas kuatnya sebuah kerangka dalam menentukan kesimpulan yang dicapai individu dengan fakta-fakta yang diberikan kepadanya, tetapi dalam konteks yang berbeda.
Mengukur Kemungkinan/Probabilitas
Dalam beberapa hal, probabilitas suatu peristiwa dapat dikalkulasikan dengan matematika. Sementara kejadian-kejadian lain ditentukan hanya dengan pengalaman kita sebelumnya. Pada serangkaian studi, Tvresky dan Kahnerman (Kahneman, 1973; Tvresky & Kahnerman, 1981) memeriksa orang-orang yang terkadang berakhir dengan kesimpulan yang buruk ketika keputusan mereka yang didasarkan pada pengalaman masa lalu.
Heuristik Keterwakilan (Representativiness Heuristic)
Mengukur probabilitas peluang sebuah kejadian dipengaruhi tidak hanya oleh ketersidaan (Availibility) kejadian tersebut, namun juga besarnya keterwakilan keterjadian dalam hubungan dengan seberapa sama kejadian tersebut dengan ciri esensial populasinya.
Teorema Bayes dan Pengambilan Keputusan
Sebuah model matematika yang menyediakan metode untuk mengevaluasi hipotesis perubahan nilai probabilitas ini disebut Teorema Bayes sesuai dengan penemunya, Thomas Bayes, ahli matematika di abad ke 18.
Probabilitas Kondisional(peluang yang terkondisikan)—peluang informasi baru adalah benar apabila hipotesis-hipotesis tertentu benar.
Beberapa bukti yang dikumpulkan oleh Edward (1968) yang mengatakan bahwa kita cenderung untuk menduga kemungkinan kondisi lingkungan yang lebih konservatif daripada teori Bayes. Pada salah satu penelitian mengenai dampak informasi baru terhadap estimasi kemungkinan yang diputuskan oleh partisipan.
Ketertarikan pada metode Bayes telah bertambah selama beberapa tahun (Melakoff, 1999). Satu alas an bertambah banyaknya penelitian adalah populernya desktop computer dan perkembangan algoritma baru. Beberapa telah menggunakan simulasi tekhnologi yang dikenal dengan Markoff Chain Monte Carlo (dikenal sebagai MCMC bagi praktisi) yang menggunakan konsep matematis Bayes dalam memanfaatkan pengetahuan sebelumnya dalam memprediksi segala sesuatu, dari resonansi inti magnet hingga siapa yang mungkin menjadi tersangka pada kasus terminal. Penggunaan yang belakangan ini telah dipertanyakan karena mengandung “Riwayat Rasial”.
4. Pembuatan Keputusan dan Rasionalitas
Bab ini nampaknya mempresentasikan manusia sebagai makhluk yang paling rasional. Diskusi kita tentang pembentukan konsep akhirnya menunjukkan bahwa keseluruhan makhluk hidup membentuk konsep menggunakan ketentuan rasional. Pada diskusi pemikiran silogisme, kita belajar bahwa paliditas sebuah argumen dapat ditentukan olleh ketentuan logis, bahwa jika kita dikelabui oleh salah satu dari struktur atau isi dari argument yang salah. Akhirnya, menurut subbab pengambilan keputusan, kita belajar bahwa kaum manusia yang “ rasional” pada umumnya bertindak irasional ketika mengambil keputusan tentang sekumpulan kejadian yang benar, kita berpikir bahwa akan menjadi bodoh untuk mendebatkan apakah benar orang lain sama rasionalnya seperti kita memperlakukan diri kita, tapi apa benar demikian diri kita, sebagai spesies, dengan kesimpulan yang begitu irasionalnya berdasakan kumpulan hasil yang empiris dari tugas-tugas pengambilan keputusan ?
Penemuan dari Tveresky dan Kahman, sejalan dengan penelitian mengenai pemikiran silogisme, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir rasional secara sempurna, beberapa kalangan telah menyangkal penemuan ini atas dasar rancangan eksperimen dan kesimpulan filosofi pasti yang dipaksakan oleh eksperimen ini. Kritik dari L.G Cohen (1981), dari universitas Oxford, yang memperdebatkan bahwa (1) rasionalitas seharusnya ditentukan oleh orang-orang yang pada umumnya, bukan menurut penyusunan eksperimen laboratorium yang tidak dibuat untuk mengilustrasikan pengambilan keputusan setiap hari dan tidak relavan pada tampilan kenyataannya. (2) tidak beralasan bahwa orang biasa diharapkan menjadi ahli dalam bidang hukum kemungkinan hukum dan statistika yang menjadi dasar dan batas dari penyimpangan bebrapa percobaan. (3) hukum system logis dan rasionalitas tidak relavan dengan prilaku manusia sehari-hari. Ambillah kasus individu yang tidak beruntung pada percobaan menghindari mantannya menggunakan teori Bayes, kemungkinan dari pertemuan dengan orang yang ingin dihindari pesta adalah 0,32. Bagaimana dengan perilaku individu yang melakukan penghindaran ? jika permusuhan antar pasangan tersebut jelas (saya tidak mau sedekat sampai 100 mil dari dia), bilangan tidak memiliki kemampuan sejauh ini sebagai perilaku.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berfikir adalah proses internal dimana informasi ditransformasikan berfikir dapat diarahkan dan mengambil peranan penting dalam pengambilan keputusan daripada level structural, menghasilkan formasi dari representasi mental.
Konsep formasi melibatkan bentuk yang tajam untuk mengklasifikasikan objek dan pencarian tata cara yang relavan dengan konsep tersebut. Aktivitas kognitif melibatkan proses-proses penting meliputi belajar, asosiasi, dan pengujian hipotesis.
Penelitian mengenai penalaran deduktif mengindikasikan bahwa kesimpulan silogisme dipengaruhi oleh bentuk presetantasi (verbal vs visual), banyaknya alternative bagi premis umum, bentuk argument (positif vs negative), pengetahuan jangka panjang yang berhubungan dengan masalah, dan level intelegnsi problem solver.
Penalaran induktif menghasilkan kesimpulan yang sering diekspresikan pada kemungkinan pernyataan dan kesesuaian lebih pada pengambilan keputusan sehari-hari daripada silogisme atau penalaran deduktif.
Penelitian pada pengambilan keputusan menunjukkan bahwa solusi untuk suatu masalah dipengaruhi oleh factor memori (keberadaan hipotesis), referensi sudut pandang yang mempengaruhi formulasi masalah, kegagalan untuk menyadari seberapa samakah sebuah kejadian pada populasinya, dan meremehkan signifikansi matematis dari kejadian yang mungkin.
2. Saran
Sebagai calon tenaga pendidik kita harus memahami tentang psikologi kognitif ini karena kita akan menghadapi peserta didik dan kita diharuskan untuk mengerti bagaimana perkembangan kognitif peserta didik sehingga kita tidak salah dalam memberikan perlakuan kepada peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Solso L. Robert, dkk. 2007. Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.